"Tour de Java" Bagian 17: Pendakian Gunung Ijen dan Menyaksikan Fenomena Blue Fire


Setelah menghabiskan waktu di sekitaran Sempol dari Air Terjun Blawan hingga Kawah Wurung kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Pos Paltuding. Perjalanan dari Kawah Wurung hingga ke Paltuding tidak terlalu jauh. mendekati pos kondisi jalan mulai menyempit dan agak ekstrim karena jalannya kecil dan berada dipinggir tebing. Banyak bekas longsoran dan sangat bahaya kalau pengendara tidak hati-hati apalagi perjalanan malam hari. Di sepanjang jalan kita bisa menyaksikan banyak savana dan bukit-bukit mirip Bukit Teletubbies. Tadinya kami bermaksud mendekati bukit-bukit ini namun tidak ada parkiran dan tidak terlihat pengunjung lain.

Sampai di Pos Paltuding sekitar jam 16-an. Pos Paltuding ini adalah gerbang kita untuk menuju Kawah Ijen. Lokasi ini juga menjadi pertemuan pengunjung yang melewati Banyuwangi dan yang datangdari Bondowoso. Jam segini masih sangat sepi, karenapendakian dibuka jam 1 pagi, biasanya pengunjung banyak berdatangan di tengah malam.

Suasana sangat berkabut dan dingin. Seharusnya dari parkiran kita bisa melihat puncak Ijen dan Gunung Ranti. Gunung Ranti ini akan kelihatan jelas ketika berada di jalur pendakian ke Ijen. Gunung ini juga menjadi daya tarik pendaki. Nah buat kalian yag ingin mendaki Gunung Ranti ini, kalian bisa parkir di parkiran Ijen ini (Paltuding) tapi jangan lupa laporan ke petugas karena pas kami di sini ada sedikit drama karena ada beberapa pendaki yang parkir di sini tanpa melapor sehingga petugasnya kebingungan (disangka gak pulang dari Ijen). Nah buat kalian yang mau leyeh-leyeh nunggu tengah malam bisa berkemah di sini juga ada penginapan milik pengelola. Oh iya, kawasan ini belum dikelola sebagai Taman Nasional tapi masih berupa Cagar Alam Taman Wisata Ijen.
Area berkemah dekat loket masuk
Di pinggiran parkiran ini banyak warung-warung, dan kami istirahat di salah satu warung yang pemiliknya sangat ramah. Kami dianjurkan gak usah menyewa penginapan ataupun tenda karena beberapa jam lagi mendaki. Warungnya buka 24 jam, selain makan minum kita juga bisa nge-charge HP (biaya Rp. 5.000). buat kalian yang gak ada peralatan mendaki juga bisa sewa di warung-warung ini seperti jaket, head lamp, masker khusus untuk area belerang, dll. Dan menghabiskan waktu beberapa jam kami tidur disalah satu kamar yang ada di warung, walaupun gak nyenyak karena selalu ada kendaraan wisatawan yang datang. jam 12 kami bangun dan bersiap-siap mendaki.

23 Januari 2020, hari ke-15 ‘Tour de Java’
Jam 12 malam beres-beres dan melakukan persiapan mendaki, dilengkapi baju kaos, sweater, jacket, kupluk, sarung tangan, senter dan masker. Sebelum jam 1, walaupun agak dipaksa ke toilet dulu buang  hajat (repot kalau buang hajat di puncak) hehehe. Tepat jam 1 loket dibuka, antrian gak terlalu banyak. Karena weekday, tiket masuk Rp. 5.000 sangat murah dibanding masuk Gunung Papandayan Rp. 55.000 dan tiket mobil Rp. 10.000.

Jam 1.15 dini hari kami memulai perjalanan mendaki ke Kawah Gunung Ijen. Begitu memasuki gerbang sudah banyak menunggu bapak-bapak yang menawarkan jasa gerobak untuk pendaki yang malas jalan. Menurut info ibuk warung, untuk naik ke kawah ini ditarik biaya Rp. 600.000, memang terkesan mahal tapi dengan menggunakan tenaga 3 orang maka biaya nya hampir sama dengan mereka bekerja mengambil sulfur di kawah Ijen ini. Nanti biaya ini akan turun drastis ketika turun dari kawah yang berkisar Rp. 150.000-Rp.75.000 karena untuk turun menggunakan tenaga yang lebih sedikit hehehe.

Jalan yang kita tempuh ini berluku-liku dengan kondisi jalan tanah hitam, untung pagi itu langit cerah dan tidak hujan. Sepanjang jalan kita hanya melihat lampu-lampu kota di bawah kaki pegunungan Ijen ini sementara langit bertaburan jutaan bintang.  Kondisi jalan yang lumayan terjal membuat nafas ngos-ngosan yang semakin ke atas oksigennya semakin menipis. Ada beberapa titik istirahat yang bisa kita temui, seperti saung namun tidak ada lampu, ada toilet tapi gak ada airnya. Salah satu lokasi istirahat yang paling terkenal adalah lokasi tempat berkumpulnya para penambang sulfur.

Sampai dibibir kawah yang merupakan puncak dari gunung setinggi hampir 2.800m ini, sekitar jam 2.30 atau hampir 1 jam lebih perjalanan. Saat itu kami belum bisa melihat apa-apa karena gelap. Tujuan berikutnya adalah turun ke kawah melihat fenomena Blue Fire/Blue Flame, dan harus bergegas karena jam 4 sudah mulai hilang bersamaan dengan munculnya fajar. Dan harus naik lagi ke atas untuk menyaksikan sunrise. Walaupun belum jam 3, sudah ada beberapa keranjang bongkahan-bongkahan sulfur yang dibawa penambang dari bawah.

Untuk turun ke kawah ini kita harus sangat hati-hati karena jalurnya adalah batu-batu guntung yang bentuk dan konturnya aneka macam. Jangan lupa menggunakan senter. Lokasi Blue Fire ini berada di pinggir danau asam yang berada di kawah ini. Lokasinya dikenal dengan sebutan ‘Dapur Belerang’ yang selalu mengeluarkan asap belerang. Dan lokasi ini belum kami sadari sebelumnya karena gelap dan terlihat ketika matahari terbit.

Sampai di lokasi Dapur Belerang terlihat beberapa pengunjung sudah berada di lokasi Bue Fire. Terlihat para penambang sedang menambang belerang ditengah kepulan tebal asap belerang, sesekali mereka mnyingkir. Mereka bertaruh nyawa demi mendapatkan beberapa ratus ribu rupiah saja, sementara hasil jerih payah mereka dijual mahal dan menghasilkan apa yang kita gunakan sehari-hari seperti sabun, bahan kosmetik, dll. Coba bayangkan kalau tiba-tiba kandungan sulfur di atas ambang batas aman, mereka tidak akan smpat menyelamatkan diri bukan?.

Begitu juga dengan pengunjung, yah kita harus sadar bahwa kondisi ini bisa tiba-tiba berbalikmengancam jiwa jadi di lokasi ini wajib menggunakan masker khusus. Blue Fire ini bukan api tapi adalah reaksi antara sulfur dan udara (oksigen) yang menghasilkan ‘api’ yang  berwarna kebiruan sesekali percikannya menghasilkan warna merah. Sesekali terdengar suara seperti mendesis. Tidak mudah mendapatkan foto Blue Fire ini karena asap belerang yang sangat tebal, jadi kita harus menunggu kemana arah angin sehingga Blue Fire ini terlihat jelas dan tiba-tiba bisa tertutup lagi. Tapi Alhamdulillah kami bisa menyaksikan fenomena ini yang hanya satu di dunia (bukan dua, karena yang di Islandia ternyata hoax).
Blue Fire
Blue Fire
Blue Fire
Kembali lagi ke atas, ke bibir kawah yang ternyata mendaki memakan waktu lebih lama karena selain kondisi jalur, juga jumpalh pengunjung yang semakin banyak sehingga terkadang harus antri. Nah jika telat gini, bisa-bisa Bue Fire nya gak dapat dan pas naik ke atas juga gak dapat sunset. Jadi buat kalian yang mau liat Blue Fire dan juga sunset harus pinter mengatur waktu.

Sampai di atas, pengunjung sudah banyak di sepanjang bibir kawah yang dibatasi oleh pagar ini untuk menunggu matahari terbit. Di saat-saat ini tiba-tiba ada panggilan alam harus segera ke toilet hahahaha. Untuk di ujung timur terdapat toilet dan tempat istirahat darurat, ini loh bangunan yang dulu kontroversial, mau dibangun toilet dan musholla namun diprotes, jadinya sekarang menjadi bangunan setengah jadi dan terkesan terbengkalai. Toilet seadanya ini ada 2 dan bayarnya Rp. 5.000 karena sudah Subuh akhirnya sholat di lokasi darurat ini.
Suasana sunrise
Kawah Ijen
Kawah Ijen
Untuk lokasi Sunrise Point sebenarnya pengunjung harus berjalan lagi ke arah barat, sedikit mendaki dan memutari kawah, namun kami hanya di sekitar sini saja karena masih bisa melihat sunset meskipun tidak terlihat latar Gunung Raung dan pegunungan lainnya. Jadi buat kalian yang masih bersemangat silahkan menuju Sunset Point.

Namun setelah puas menikmati pemandangan di sini, penasaran juga akhirnya menuju Sunrise Point. Titik ini memutari kawah ke arah barat dan lebh tinggi. Melewati hutan yang menghitam karena bencana kebakaran Oktober 2019 lalu. Dari titik ini pemandangannya lebih bagus karena selain kawah juga berlatar pegunungan dan Kawah Wurung. Di lokasi ini lebih fotogenik karena juga dihiasi oleh pepohonan dan kayu-kayu mati berwarna hitam  di sepanjang tebing. Ternyata di lokasi ini tidak kalau ramainya dengan lokasi bawah.
View dari Sunrise Point
View dari Sunrise Point
Kembali ke bawah, melewati lokasi berkumpulnya penambang dan bakulbakul penuh bongkahan belerang. Di sini kita juga akan di tawari naik gerobak, diri atas ini ditawarkan Rp. 15.000, nah makin ke bawah biayanya akan semakin murah hehehe. Di sini ditawarkan aneka cendera mata yang terbuat dari bongkahan belearang. Di titik ini juga kita bisa berfoto sepuasnya karena hari sudah mulai terang. Gunung Ranti kelihatan jelas.
Suasana yang mirip pasar dadakan
Berfoto dengan latar Gunung Ranti
Karena sudah terang pula, sepanjang jalan turun kita bis amenyaksikan keindahan alam Ijen, pegunungan dan lembah-lembah. Jalan-jalan bertanah hitam dan berbelok-belok ini tidak lebih mudah ketika mendaki, sama-sama membutuhkan tenaga besar. Hutan-hutan sepanjang jalan terlihat menghitam akibat terbakar, sangat sayang sekali. Terlihat hilir mudik pengunjung yang turun dan masih ada yang naik (pendakian ditutup jam 12 siang). Jam 7.30 akhirnya kami sampai di parkiran
Pemandangan ketika turun
Pemandangan ketika turun
Alhamdulillah sampai di bawah...
Tidak berisitirahat lama, kami pun melanjutkan perjalanan turun. Sekali beristirahat di pos penjagaan 2 karena sangat capek dan beristirahat di cafe pinggir jalan sambil menikmati kopi Bondowoso ini dan kemudian melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya, Jember.

Catatan:
Sekitar seminggu setelah kami melewati Sempol, di sini terjadi banjir bandang 2x. Jadi harap hati-hati dan perhatikan cuaca ketika melewati area ini!.

Silahkan baca link terkait:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selabintana Juga Punya Curug Cibeureum..... !!!

Wisata Tenjolaya-Bogor Part X: Curug Ciseeng

Eksplor Solok Selatan Bagian 4: Kebun Teh Alahan Panjang, Mesjid Tuo Kayu Jao dan Danau Di Ateh (Danau Kembar)