"Tour de Java" Bagian 14: Eksplor Taman Nasional Alas Purwo-Banyuwangi

20 Januari 2020, hari ke-12 ‘Tour de Java’
Pagi ini kami berencana melanjutkan perjalanan ke Taman Nasional Alas Purwo yang berada di sisi paling timur Pulau Jawa. Rencananya kami berangkat pagi-pagi namun karena menunggu laundry yang 2 hari lalu selesai jam 8 pagi. Setelah semua beres kamipun check-out. Rencananya dari Taman Nasional Alas Purwo kami akan lanjut ke Teluk Ijo yang berada di kawasan Tamn Nasional Meru Betiri. Mengikuti Maps jangan mengetik kata kunci ‘Taman Nasional Alas Purwo/Alas Purwo National Park’ karena tidak ada jalur di Maps maka ketik salah stu lokasi yang berada di dalam kawasan tersebut yaitu ‘Padang Savana Sadengan’.

Taman Nasional Alas Purwo
Jarak dari penginapan kami ke Taman Nasional Alas Purwo ini hampir 50km atau ditempuh lebih dari 1 jam perjalanan. Kondisi jalan di Banyuwangi ini bagus dan gak macet hingga nantinya masuk ke daerah perkampungan yang jalannya kecil hingga memasuki kawasan hutan milik Perhutani (yang berbatasan dengan Taman Nasional). Sebelum memasuki kawasan hutan Perhutani kami mampir sarapan di sebuah warung makan yang pemiliknya ternyata sudah berpengalaman traveling dan pengetahuannya sangat luas sehingga asik ngobrol sana-sini. Warungnya di hias dengan nuansa etnik sehingga kita akan berasa di toko cendera mata/art shop.
Hutan jati milik Perhutani sebelum gerbang Alas Purwo
Melanjutkan perjalanan, memasuki hutan milik perhutani yang jalannya berupa paving block di kiri kanan seluas mata memandang didominasi oleh hutan jati. Walaupun memasuki musim hujan namun menurut infonya, sudah lebh dari 2 minggu belum hujan sehingga pohon-pohon jati ini menggugurkan daunnya dan terlihat seperti hutan mati. Hanya ada satu duan rumah disepanjang jalan menuju Taman Nasional, hingga akhirnya kami sampai di gerbang masuk Taman Nasional.

Untuk memasuki kawasan Taman Nasional kami membayar tiket Rp. 30.000 untuk berdua plus mobil. Begitu memasuki hutan ini, kesan mistis terasa karena hutannya gelap dan sangat rapat. Tidak salah bagi sebagian masyarakat Jawa khususnya Banyuwangi menyebut hutan ini angker. Alas Purwo sendiri artinya Hutan Tua/Hutan Pertama, banyak cerita tentang hutan ini, mulai dari mistis, tempat pelarian terakhir prajurit Majapahit etc. Di tambah lagi sedikit sekali pengunjung di hari Senen ini sepanjang jalan menikmati sepinya hutan dan suara-suara makluk hutan. Keluar dari mobil untuk berfoto hanya dilakukan sebentar, berasa gak nyaman hahahaha....
Alas Purwo
Alas Purwo
Di kawasan Taman Nasional yang mempunyai luasan sekitar 42.000 Ha atau 2x lipat Taman Nasional Baluran ini terdapat beberapa spot yaitu Situs Budaya Kawitan dan Pura Giri Salaka, Pantai Pancur, Pantai Plengkung, Goa Istana Alas Purwo (kami gak mampir ke sini), dan Padang Savana Sadengan.

Situs Budaya Kawitan dan Pura Luhur Giri Salaka
Situs ini berada tidak jauh dari loket masuk di sebelah kiri kita bisa melihat di antara rimbunan pepohonan. Konon situs ini ditemukan tahun 1967 disaat masyarakat membabat semak-semak untuk membuka lahan. Meski belum ada catatan resmi dalam prasasti, masyarakat mempercayai yang bertahta di situs Kawitan adalah Empu Bharadah, sosok yang berhasil mengalahkan raja kejam Calon Arang.
Karawitan
Pura uhur Giri Salaka di kejauhan
Pantai Pancur
Pantai ini biasanya menjadi titik terakhir dari kendaraan karena kendaraan pribadi hanya boleh sampai di sini. Untuk melanjutkan perjalanan misalnya ke Pantai Plengkung kita harus naik kendaraan yang disediakan oleh pengelola. Di pantai ini terdapat kantin, mesjid dan camping ground dan tentu saja saung-saung untuk istirahat.
Suasana di parkiran Pantai Pancur
Dari loket kita cukup berjalan kaki ke pantai sekitar 50 meter. Pantai Pancur ini menurut informasi di papan info, terbentuk karena terangkatnya permukaan laut sekitar 11-16 juta tahun lalu. Bebatuan yang banyak terdapat di pantai ini adalah hasil pengangkatan gunung api purba di kawasan ini sekitar 25-30 juta tahun lalu. Sayang kami datang di waktu yang kurang tepat jadi pantai berpasir putih dan berombak tenang ini terlihat banyak sampah plastik yang di bawa arus laut. Sebaiknya datang di bulan-bulan Juli-Agustus karena pantainya akan bersih.
Pantai Pancur
Pantai Pancur
Pantai Plengkung
Untuk ke pantai ini kita harus menyewa kendaraan khusus yang disediakan pengelola dengan membayar Rp. 250.000. Dari loket kita akan menempuh jarak sekitar 7 km (saya lupa), menyusuri jalan kecil dan berkerikil/jalan tanah. Treknya menyusuri hutan dan menyusuri pinggir laut.

Sampai di Pantai Plengkung terlihat sedang surut, bebatuan karang terlihat dipermukaan dengan latar laut biru dan ombak tenang. Terlihat beberapa perahu nelayan sedang bersandar (nelayannya tinggal bukan di sini tapi di desa terdekat dari kawasan taman nasional). Unuiknya, pasir pantai di sini seperti butiran meric, mirip Pantai Kuta-Lombok.
Pantai Plengkung
Pantai Plengkung
Pasir pantai berbentuk merica
Menurut guide kami, waktu yang tepat untuk ke pantai ini adalah sekitar Juli-Agustus karena pantai ini berubah menjadi ‘kampung bule’ karena pantai berpasir putih ini terkenal dengan ombaknya yang besar sehingga dipakai untuk surfing/berselancar, dan pernah diadakan kejuaraan surfing tingkat internasional, berbeda sekali dengan kondisi saat ini, sangat sepi dan berombak tenang. Ini juga terlihat ditutupnya beberapa resort yang menjadi tempat menginap para bule jika bertandang ke sini.
Helipad di Pantai Plengkung
Di area pantai ini juga terdapat 2 helipad/tempat mendaratnya helikopter yang digunakan untuk evakuasi pengunjung jika keadaan darurat.

Padang Savana Sadengan
Ini adalah spot terakhir yang kami kunjung di kawasan taman nasional ini. Sebenarnya berada tidak jauh dari Pura Luhur Giri Salaka, namun kami mengunjungi dalam perjalanan kembali dari Pantai Plengkung. Meskipun kondisi jalan di kawasan taman nasional ini beraspal mulus tapi kondisi jalan yang kurang dari 1 km ke parkiran savana ini bleh dikata jelek.

Sampai diparkiran, yang terdapat beberapa warung, tidak terlihat banyak kendaraan namun ada mobil odong-odong yang membawa puluhan anak-anak TK. Dari parkiran kita jalan sekitar 50 m hingga sampai di menara pantau Savana Sadengan. D sini ada menara pantau setinggi sekitar 15m atau 3 lantai. Di bawahnya di kelilingi oleh pagar kayu sehingga pengunjung tidak boleh memasuki savana. Savana di sini tentu tidak seluas Savana Bekol di Baluran karena savana di sini dikelilingi oleh hutan. Namun di sini kami bisa melihat 1 ekor banteng yang sedang makan di kejauhan. Menurut info jumlah benteng di kawasan ini sudah sangat sedikit hanya sekitar 92 ekor (2017) karena meningkatnya populasi predator (ajag) dan menurunnya jumlah mangsa ajag (babi hutan). Jadi ada saling keterkaitan dalam rantai makanan ya gaesss.... kita doakan jumlah banteng ini meningkat terus jangan sampai hewan ini menjadi punah dan hanya akan dikenang dari buku-buku cerita dan dongeng.
Gardu Pandang @Savana Sadengan
Hanya terlihat 1 ekor banteng di kejauhan
Di sini juga di sediakan wisma bukan kalian yang mau melakukan penelitian atau tugas akhir. Terlihat beberapa mahasiswa di sini untuk penelitian tentang hewan-hewan yang ada di taman nasional. Jadi gak heran kalau ada burung besar hinggap di sini mereka pada antusias dan siap dengan kamera zoomnya.

Lewat jam 14.00 kami meninggalkan Taman Nasional Alas Purwo. Karena kesorean dan tujuan selanjutnya adalah Taman Nasional Meru Betiri (Teluk Ijo) jadi kami akan ke Pantai Pulau Merah untuk mencari penginapan, lokasi terdekat untuk ke Teluk Ijo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selabintana Juga Punya Curug Cibeureum..... !!!

Wisata Tenjolaya-Bogor Part X: Curug Ciseeng

Eksplor Solok Selatan Bagian 4: Kebun Teh Alahan Panjang, Mesjid Tuo Kayu Jao dan Danau Di Ateh (Danau Kembar)