"Tour de Java" Bagian 6: Mesjid Agung/Mesjid Jamik dan Keraton Sumenep
Pulau Madura
Minggu, 12 Januari
2020
Pagi-pagi setelah
sarapan kami check-out dan meneruskan perjalanan, tujuan kami kali ini adalah
Pulau Madura. Dan tujuan utama kami adalah menyeberang ke Gili Labak, pulau
kecil yang sudah masuk wishlist lama sekali. Untuk ke pulau ini kita harus ke
kota Sumenep terlebih dahulu yang berjarak sekitar 5-6 jam dari Surabaya. Dari
kota ini kemudian menyeberang dengan kapal sewa. Karena keberangkatan pagi
sementara kami pasti sampainya lewat tengah hari sehingga harus menginap
semalam di kota Sumenep.
Untuk ke Madura
pastilah melewati jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) dengan panjang sekitar
5.5km. karena baru pertama kali melewati jembatan ini, agak amaze juga ketika
berada di atasnya. Untuk melintasi jembatan ini gratis loh dan ada juga jalur
buat motor nya. Sayang tidak ada rest area di jalur ini sehingga kita tidak
bisa berhenti untuk sekadar berfoto. Melewati jembatan ini, kita akan masuk
area yang berbeda sama sekali dengan Surabaya, dari suasana kota besar kemudian
kota kecil dengan suasana lebih ‘desa’ dan hijau. Menyusuri jalur selatan
dimana kondisi jalannya ada yang jelek dan ada yang bagus, sepanjang jalan
banyak sekali kita temui pohon asem Jawa (tamarind) dengan ukuran-ukuran besar,
dan tentu saja pantai-pantai. Kota-kota yang kita lewati yatu Bangkalan,
Sampang, Pemekasan dan Sumenep di paling ujung.
Di kota ini banyak
terdapat penginapan walaupun bukan bintang 5, kami menginap semalam di salah
satu hotel dengan tarif Rp. 250.000 semalam termasuk sarapan. Cuman ada waktu
beberapa jam, kami mengunjungi objek wisata terdekat yaitu Mesjid Agung Sumenep
dan Musium/Keraton Sumenep.
Mesjid Agung (Mesjid Jamik) Sumenep
Mesjid Agung ini
dibangun tahun 1779 Masehi dan selesai 1787 dan termasuk salah satu dari 10
mesjid tertua di Indonesia. Mesjid ini adalah bangunan pelengkap dari keraton
Sumenep yang tidak begitu jauh jaraknya. Daridepan keraton, mesjid ini terlihat karena syu garis
lurus dengan jalan raya dan dibatasi oleh alun-alun/taman kota. Mesjid dibangun
pada masa pemerintahan Panembahan Somala, Penguasa Negeri Sungenep XXXI, dengan
arsitek yang sama dengan Keraton yaitu Lauw Piango.
Arsitektur mesjid
ini adalah gabungan dari budaya China, Eropa, Jawa dan Madura. Untuk gerbang
utama terpengaruh budaya China, bangunan utama budaya Jawa, pewarnaan pintu dan
jendela pengaruh Madura, interior yang berwarna cerah pengaruh China serta
minaret/menara berarsitektur Portugis (Eropa).
Untuk Halaman Masjidnya sendiri terdapat pohon sawo (Bahasa
Madura: Sabu) dan juga pohon tanjung. Di mana kedua pohon tersebut konon
merupakan penghias utama halaman masjid karena dipercaya mempunyai makna
filosofi sebagai berikut:
- Sabu adalah penyatuan kata sa dan bu, sa mempunyai maksud salat dan bu mempunyai maksud ja' bu-ambu
- Tanjung adalah penyatuan kata ta dan jung, ta mempunyai maksud tandha, dan jung mempunyai maksud ajhunjhung
- dan Masjid sendiri bermakna pusat kegiatan dalam mensyiarakan agama Allah.
jadi apabila dijabarkan kesemuanya mengadung maksud
dan harapan sebagai berikut :
Salat ja' bu-ambu, tandha ajhunjhung tenggi kegiatan
agama Allah artinya : Salat lima waktu janganlah
ditinggalkan, sebagai tanda menjunjung tinggi agama Allah (sumber: wikipedia)
Dari penginapan kami
ke mesjid ini berjarak sekitar 7km. Sampai di parkiran depan mesjid sudah
hampir Ashar, jadi kebetulan sekali bisa sholat Ashar di sini. Berada d jalan
utama pas di depan alun-alun kota yang melingkar jadi merupakan wilayah yang
ramai bukan saja oleh kendaraan tapi juga perumahan di sekitarnya. Sebelum
Ashar kami mecoba menerbangkan drone untuk melihat area mesjid ini dari atas.
Untuk drone ini kami meminta ijin ke petugas mesjid dan diijinkan asal drone
nya terbang tidak melebihi pagar mesjid.
Dar atas ini terlihat gerbang utama yang berarsitektur dan warna yang
mencolok kemudian bangunan utama (mesjid) dengan ‘kubah’ masih-masih dua dikiri
dan kanan serta 2 di bagian depan. Kompleks ini sangat kontras dengan bangunan
yanga ada di sekelilingnya.
Masuk waktu Ashar,
kami melaksanakan sholat berjamaah. Untuk wudu pria ada di bagian kanan mesjid.
Terdapat bedug di salah satu sudut mesjid. Di bagian dalam terdapat tiang-tiang
utama dan langit-langit berbahan kayu. Di
bagian tembok depan/mihrab dihiasi dengan keramik dan warna-warna mencolok. Setelah
Ashar kami mengunjungi Keraton dan Musium.
Mihrab |
Keraton Sumenep dan Museum
Sebelum ke Keraton
kami ke bagian loket untuk membeli tiket masuk, satu orang pengunjung dikenakan
Rp. 5.000 dan ditunjuk seorang guide. Loket ini terletak persis di seberang
jalan depan Keraton. Bukan sekedar loket dan information center, di gedung ini
juga memajang bermacam benda koleksi misalnya Al-Quran tulis tangan yang
dipajang dalam display kaca, Al-Qur’an ini mempunyai ukuran 4x3m dan berat
500kg. Juga ada (replika?) kereta kencana yang merupakan hadiah dari Ratu
Inggris kala itu. Di salah satu dinding terdapat foto-foto raja-raja Sumenep dari
awal sampai akhir.
Sebenarnya, di
informasi disebutkan bahwa jam tutup Keraton adalah jam 4 sore, sdangkan kami
datang sudah hampir jam 4, tapi guide kami menemani berkeliling keraton sampai
selesai. Sebenarnya guide kami bercerita begitu detil sehingga saking detilnya
kami jadi lupa hahahha... untuk lebih jelasnya mengenai Keraton Sumenep bisa
dibaca di tautan berikut: Keraton Sumenep.
Seperti Mesjid
Agung, keraton ini juga didominasi warna kuning. Memasuki bangunan sebelah kiri
kita bisa melihat ruangan yang dipakai sebagai kamar tidur, terlihat dipan,
meja kursi, alat rias, kaca dll. Yang cukup unik adalah lemari panjang yang terbuat
dari kayu yang panjangnya sekitar 6m yang digunakan untuk menyimpan tombak. Ada
juga baju zirah/pakaian perang yang terbuat dari besi dan sangat berat. Di halamam
belakang terdapat arca-arca peninggalan Hindu sebelum Islam masuk ke Madura.
Lemari untuk menyimpan tombak |
Kamar tidur keluarga kerajaan |
Lanjut ke bagian
Keraton (bagian utama), satu-satunya area yang ditutup jadi kita cuman bisa
melihat dari jendela. Ini adalah bagian penting dari keraton, jadi kalau
terbuka bisa rusak oleh ramainya pengunjung. Antara keraton dan pendopo terdapat Mandiyoso,
yaitu ruang penghubung.
Lanjut ke arah kiri
melewati taman yang terdapat pohon beringin besar dan disampingnya terdapat
Taman Sare (Taman Sari) yaitu teman pemandian keluarga kerajaan. Tempat ini
masih utuh, hanya saja karena tidak digunakan, air nya menjadi kolam ikan :D. Di
sini pengunjung bisa bersantai karena suasananya adem.
Terakhir kita keluar
dari komplek keraton melewati Labhang Mesem (Pintu Tersenyum), salah satu pintu
keluar masuk keraton menghadap ke Selatan (dulu ada lima pintu masuk, yang
disebut ponconiti, namun hanya dua yang tersisa). Di ceritakan oleh guide kami
kenapa namanya Pintu Tersenyum, karena di di kedua ujungnya terdapat pos yang
dijaga oleh penjaga yang berukuran kecil (dwarf), sehingga yang melewati
gerbang ini dari jauh sudah tersenyum duluan melihat mereka. Sementara di
bagian atas gerbang ini digunakan untuk memantau segala aktifitas di dalam
keraton.
Keluar dari Labhang
Mesem, berakhir pula tur berkeliling tempat sejarah di Sumenep ini. Tempat yang
harus kita lestarikan sehingga bisa dinikmati generasi-generasi selanjutnya.
Silahkan baca link
terkait:
Komentar
Posting Komentar
Leave you message here...!!!
Tinggalkan komentar Anda di sini...!!!!