"Tour de Java" Bagian 2: Exploring 'Tiongkok Kecil' Lasem
Lasem
Masih di hari yang
sama, dari Mesjid Menara Kudus kami
melanjutkan perjalanan menuju Lasem. Dari Kudus ini ke Lasem ditempuh kira-kira
2 jam perjalanan. Apa sih yang menarik dari kota Lasem ini?. Kecamatan yang
berada di kabupaten Rembang ini konon adalah kota awal pendaratan orang China
di Pulau Jawa. Banyaknya perkampungan China/Pecinan dan bangunan-bangunan tua
yang berusia ratusan tahun yang berarsitektur China menjadikan kota ini
mendapat julukan “Tiongkok Kecil”.
Sampai di Lasem
sudah lewat siang hari, dan cuaca mendung dan gerimis kecil. Suasana kotanya
sangat ramai apalagi ke arah pusat wisata/budaya. Kegiatan pertama tentu saja
mencari penginapan. Penginapan di sini bukan berupa hotel (hotel banyaknya di
kota). Pertama kali yang terlihat jelas adalah Omah Ijo (Rumah Hijau) yang
berada di sisi kanan jalan raya namun batal karena tidak sesuai yang kami mau.
Di depan Omah Ijo ini ada jalan ke perkampungan dan sekitar 50m ada Rumah Merah
(Tiongkok Kecil Heritage). Akhirnya kami menginap semalam di sini dengan tarif
Rp. 350.000 kamar mandi di dalam). Jadi cuman 1 malam untuk explore Lasem.
Omah Ijo |
Tiongkok Kecil Heritage (Rumah Merah)
Bangunan tua ini
adalah salah satu heritage yang termegah di Lasem dan sudah ada dari tahun
1886. Awalnya adalah toko roti dan seteah berganti kepemilikan, semenjak 2016
bagian dalam rumah ini menjadi penginapan. Bukan hanya penginapan, di sini juga
ada cafe tradisional, pembuatan dan penjualan Batik Lasem yang terkenal hingga
paket tur keliling Lasem.
Salah satu sudut Rumah Merah |
Di halaman belakang
terdapat Sumur Kuning, sumur tua yang bercat kuning, meskipun tidak digunakan
namun masih berfungsi. Berada di sini berasa berada di film-film Mandarin. Ke
arah depan/cafe/reepsionis kita akan melewati lorong yang dikiri kanannya
terdapat beragam motif Batik Lasem yang terkenal dengan Batik Tiga Negeri dan
Kendoro-Kendiri-nya. Dan motif-motif ini bisa kita temukan di kain-kain yang
dijual di Galeri depan dengan harga ratusan ribu rupiah hingga jutaan. Di area
dekat parkiran bisa kita temukan beberapa pembatik yang sedang membatik,
terlihat mereka membatk tanpa menggunakan pola, inilah yang disebut seorang
seniman!.
Di sini juga
terdapat cafe yang menjual makanan/minuman tradisional dengan harga terjangkau.
Gak heran kalau malam hari banyak yang nongkrong di kafe ini meskipun tidak
menginap.
Pohon Trembesi Raksasa
Pohon Trembesi ini
juga salah satu iconnya Lasem. Pohon bersejarah yang berusia ratusan tahun.
Berbeda dengan pohon Trembesi di Jawatan Benculuk-Banyuwangi, di sini pohonnya
cuman ada 1 meskipun di beberapa titik di perkampungan kami juga melihat namun
tidak sebesar ini. Konon dahulunya di bawah pohon ini banyak pembatik membatik
di bawah pohonnya yang rimbun.
Jarak dari Rumah
Merah ke lokasi pohon ini sebenarnya cukup dekat, sekitar 4km. Namun karena
mengikuti Maps dan memasuki jalan desa yang sangat kecil akhirnya kami nyasar
kemana-mana ditambah lagi dengan hujan yang cukup lebat. Akhirnya kami bertanya
kependuduk setempat (2x bertanya, dan terakhir kami di antar ke dekat lokasi.
Dalam suasana
gerimis kami mengambil parkir di depan gudang tua, satu-satunya bangunan dekat
pohon ini. Ada beberapa sepeda dan satu motor yang diparkir di bawah pohon,
sepertinya milik petani yang sedang bekerja di sawah yang jaraknya tidak begitu
jauh dari pohon. Pohon Trembesi ini terlihat begitu gagah dan sangat tua, setua
Lasem dan bangunan-bangunannya. Tidak terlihat pembatik sesuai bayangan saya,
hanya bisa membayangkan mereka dahulunya membatik di bawah pohon ini, mungkin
sambil bersenda gurau.
Pohon Trembesi Raksasa |
Pohon Trembesi Raksasa |
PodBod As-Frustassiyah
Kalau diartikan
secara harfiah, pondokan ini bearti Pondok Bodo yang diperuntukan buat
orang-orang yang frustasi, agak sedikit nyeleneh memang. Tapi pondok ini
didirikan buat orang-orang yang frustasi, putus asa, dll, juga buat para
musafir.
PodBod As-Frustassiyah |
PodBod As-Frustassiyah |
Pondokan ini
mempunyai keunikan, dengan arsitektur yang mirip arsitektur China yang terdiri
dari beberapa tingkat. Bangunan ini juga sedikit ‘nyeleneh’ karena dibiarkan
setengah jadi, seolah-olah bangunan ini adalah bangunan terlantar. Namun inilah
keunikannya, apalagi jika dilihat dari jauh, di jalan yang membeah tambak di
desa ini.
Pulang dari PodBod
ini kami mampir di Vihara Gie Yong Bio, namun karena pagarnya setengah tertutup jadi
kami hanya mengambil gambar dari luar.
Vihara Gie Yong Bio |
10 Januari 2020
Pagi-pagi kami checkout dari penginapan.
Tujuan selanjutnya adalah Tuban. Namun karena masih pagi, kami mencoba
mendatangi Vihara Ratanavana Arama yang dikenal dengan Budha Tidur-nya namun
setelah melewati persawahan dan melewai jalan perbukitan ternyata Vihara ini
digembok pagarnya. Akhirnya kamipun melanjutkan perjalanan.
Pasujudan Sunan Bonang dan Makam Putri Campa
Spot ini berada di
pinggir jalan pantai Utara ke arah Tuban yang berjarak sekitar 6km dari
penginapan kami. Dari jalan langsung memasuki area parkiran yang luas dan
dibatasi oleh jejeran warung-warung. Melewati gerbang selanjutnya kita akan
menaiki anak tangga yang jumlahnya ratusan dan lumayan curam. Di sini banyak
sekali kita temui pengemis yang terlihat sehat dan segar bugar.
Menapaki anak tangga di Pasujudan Sunan Bonang |
Sampai di atas
kemudian kita akan memasuki gerbang lagi. Nah yang sedikit mengganggu adalah
mulai dari gerbang sampai kedalam banyak sekali kita temui kotak amal yang
peruntukannya bermacam-macam yang baru sekali ini saya lihat banyak sekali
kotak amal.
Pasujudan Sunan Bonang |
Ada beberapa
bangunan di atas bukit ini, bangunan utama adalah mesjid yang ditengahnya
terdapat ruang tempat Pasujudan Sunan Bonang, yaitu berupa batu yang digunakan
buat sujud dan bekas tapak kaki Sunan Bonang. Untuk masuk ke dalam ruang kecil
ini kita harus antri. Di dalam ruang ini terdapat 4 batu, 2 batu kecil dan 2
batu besar, dan lagi-lagi ada kotak amal di atas batu ini. Kalau menurut saya
sebaiknya kotak ini disingkirkan, mudah-mudahan dibaca oleh pihak yang
berkepentingan!!!.
Kotak amal yang sangat mengganggu |
Di sudut lain
terdapat makam Putri Campa, yang konon adalah murid wanita Sunan Bonang yang
berasal dari Campa (Vietnam). Menurut ceritanya, putri ini jatuh cinta pada
Sunan Bonang, tapi tidak kesampaian hingga Sunan Bonang wafat. Tapi menurut
salah seorang penjual di sini, putri ini dikaitkan dengan Raden Fatah-Demak,
yaitu ibu Raden Fatah. Tapi menurut saya tidak masuk akal. Mungkin ini
dikarenakan ibu Raden Fatah berasal dari Cina, sementara zaman dahulunya,
putri-putri yang berasal dari Cina disebut Putri Campa.
Makam Putri Campa |
Dari lokasi wisata
religi/ziarah ini kami melanjutkan perjalanan menyusuri Pantai Utara dan
memasuki kota berikutnya yaitu Tuban.
Silahkan baca link
terkait:
Komentar
Posting Komentar
Leave you message here...!!!
Tinggalkan komentar Anda di sini...!!!!