Jelajah Jawa Tengah Bagian 2: Candi Dwarawati dan Kawah Sileri
Sekitar jam 10 pagi,
dari Curug Cibelik kami melanjutkan perjalanan ke Dieng yang diperkirakan
memakan waktu sekitar 1.5 jam. Melewati perkebunan teh, kemudian memasuki area
hutan-hutan dengan jalan yang masih beraspal bagus. Selanjutnya melewati jalan
yang lumayan jelek, berbatu-batu dan lobang. Namun mengingat jalur Batang ini
adalah jalur terdekat dari Jaakarta ke Dieng. Meskipun jalannya jelek tapi
pemandangan sangatlah bagus. View pegunungan dan kebun-kebun sayuran serta
perkampungan yang tersebar di gunung-gunung di sepanjang jalan sangatlah
memanjakan mata.
Jalur dari Batang ini
berakhir di pertigaan jalan utama Dieng. Sebagai catatan, Dieng ini bukan
merupakan nama sebuah kecamatan atau kota, ini adalah sebutan untuk dataran
tinggi sepert di Puncak-Bogor. Sebagian besar Dataran Tinggi Dieng (Dieng
Plateau) masuk wilayah Banjarnegara dan sebagian kecil masuk wilayah Wonosobo.
Hal pertama yang kami
lakukan di Dieng tentu saja mencari penginapan. Setelah tanya dan telpon sana
sini akhirnya dapat penginapan ala jejepangan dekat Mesjid di pinggir jalan.
Homestaynya lumayan luas dan terdapat 3 tempat tidur yang digelar sehingga
dapat menampung kami berlima. Sewanya Rp. 300.000/malam. Setelah menaruh
barang-barang, yang pria melanjutkan sholat Jum’at. Sayangnya habis Jum’at
hujan turun hingga Subuh sehingga kami tidak bisa kemana-mana di hari pertama
ini.
Jumatan di mesjid ini yang berada di pinggi jalan raya |
Suasana Dieng |
Sebagai catatan,
sebagai salah satu wilayah yang terdingin di Indonesia, persiapkan pakaian dan
perlengkapan seperti jas, kaos kaki, sarung tangan/kupluk bila perlu karena
Dieng sangat dingin di malam hari hehehhe.
Hari kedua di Dieng.
Pagi-pagi kami jalan-jalan sambil makan pagi. Nah di sepanjang jalan apalagi di
landmark Dieng banyak sekali yang jual sarapan seperti sate, bubur ayam dan
makanan tradisional lainnya. Banyak sekali turis yang jalan pagi sambil mencari
sarapan pagi.
Cari sarapan di sekitar landmark Dieng |
Cari sarapan di sekitar landmark Dieng |
Cari sarapan di sekitar landmark Dieng |
Candi Dwarawati
terdapat di lereng Gunung Prau. Untuk menuju jalan ini bisa mengikuti petunjuk
arah yang ada di jalan utama. Memasuki jalan kecil yang berjarak sekitar 1-2km
dari jalan utama kita harus parkir di lahan milik penduduk lokal karena candi
ini tidak dikelola secara komersial. Jadi jangan harap di sini ada loket,
penjual makanan/cenderamata, tempat istirahat ataupun toilet.
Dari parkir kemudian
kita jalan kaki sekitar 100m, ke atas bukit yang tidak terllau tinggi. Hari itu
adalah jadwal pembersihan candi, terlihat 2 orang petugas bersiap-siap akan
membersihkan candi dengan menggunakan water jet beserta tangga. Komplek candi
ini dikelilingi oleh pagar setinggi 1m.
Meminta ijin masuk
komplek candi kepada petugas, terlihat hanya kami pengunjung yang datang.
Sepertinya candi ini tidak cukup menarik minat wisatawan. Berbeda dengan
nama-nama candi di Dieng yang memakai nama tokoh Mahabratha, Dwarawati bukanlah
nama tokoh tapi merupakan nama kota di sebuah kerajaan India karena bentuk
candi ini mirip candi-candi yang ada di India.
Candi yang dibersihkan oleh petugas jaga |
Candi Dwarawati
berbentuk tunggal. Di kiri kanan terdapat reruntuhan candi. Di candi ini juga
tidak terdapat arca yang umumnya kita temukan di candi-candi, konon arca-arca
nya disimpan di Museum Kailasa (dekat komplek Candi Arjuna) untuk diselamatkan
dari pencurian. Karena berada di ketinggian, pemandangan di sini sangat indah,
melihat perkebunan sayuran/kentang dan perbukitan yang mengelilinginya. Tidak
ada salahnya kalau kalian ke Dieng silahkan mampir ke candi ini.
Blue Team goes to Candi Dwarawati |
Blue Team goes to Candi Dwarawati |
Ada Apa Dengan Kamu..! |
Dari pertigaan ke
kanan, pemandangannya berupa kebun-kebun sayur dan lokasi pembangkit-pembangkit
listrik tenaga panas bumi. Maklum di sini banyak sekali sumber tenaga panas
bumi. Jadi tidak heran kalau di sini banyak terdapat pipa-pipa penyalur panas
bumi.
Akhirnya sampai di
sebuah tempat pemandian air panas yang tempat parkirnya juga merupakan lokasi
parkir ke Kawah Sileri. Setelah bayar tarif parkir Rp. 5.000 kami mendapatkan
info bahwa Kawah Sileri di tutup. Karena tidak bisa mendekati area kawah
akhirnya kami cuman bisa melihat kawah dengan mengggunakan drone.
Dibandingkan dengan
Kawah Sikidang, area kawah aktif Kawah Sileri lebih luas. Tidak tahu mengapa
area ini ditutup untuk kunjungan mungkin karena alasan keselamatan. Yang jelas
area ini pernah dibuka karena masih terlihat sisa-sisa saung atau tempat
beristirahat pengunjung.
Dari parkiran yang di
kelilingi oleh pagar kawat kami hanya bisa menyaksikan Kawah Sileri dari jauh.
terlihat asap putih dari kawah. Nah walaupun namanya kawah, seperti juga Kawah
Sikidang, Kawah Sileri juga tidak mengandung lava atau magma seperti yang ada
di kawah gunung-gunung berapi umumnya. Seperti namanya Kawah Sileri berwarna
putih (leri=air bekas cucian beras).
Untuk melihat lebih
dekat, maka kami menggunakan drone. Dari drone kita bisa melihat penampakan
kawah dari atas dan juga pemandangan yang ada di sekelilingnya. Meskipun ada
kawah, di sekeliling nya terdapat ladang-ladang sayuran penduduk. Hanya saja,
kita harus berhati-hati karena jika kadar sulfur dari asap kawah melebihi
ambang batas yang boleh kita hisap, maka akan berakibat fatal.
Kawah Sileri dari atas |
Setelah mengambil
beberapa foto, kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Curug Sirawe yang berada
di Kampung Bitingan yang berjarak sekitar 2 km dari Kawah Sileri.
Baca juga link terkait:
- Curug Sirawe
Komentar
Posting Komentar
Leave you message here...!!!
Tinggalkan komentar Anda di sini...!!!!