2 Juni 2018
Curug Dengdeng
Pengembaraan mencari curug kali
ini mengantarkan kami ke Curug Dengdeng yang ada di Desa Sukatani,
Cipanas-Cianjur. Curug ini mungkin kedengaran asing di telinga traveler
khususnya pencari curug/air terjun.
Dari Bogor saya dan Revan,
menggunakan motor, berangkat sekitar jam 7 pagi. Cuaca sangat cerah dan jalanan
Puncak sepi yang biasanya padat di setiap weekend, tentu saja karena bulan puasa
:D. Meski begitu jalanan masih sempat tersendat di sekitar Pasar Cisarua.
Menyusuri jalanan Puncak yang
berkelok-kelok dengan pemandangan pegunungan dan perkebunan teh disana-sini
serta udara yang sangat sejuk membuat paru-paru berasa segar. Selepas Puncak
Pass, memasuki Cipanas, cuaca berubah drastis, cuaca yang tadinya cerah berganti
dengan awan gelap meski tidak turun hujan.
Sesudah Pasar Cipanas, pas di
samping Istana Cipanas, yang meupakan patokan untuk menuju curug ini, kami
ambil jalan kanan, ke arah terminal dimana banyak angkot-angkot berwarna kuning
ngetem di sini. Menyusuri jalan di samping pagar Istana, tidak beberapa jauh
kemudian dipertigaan ambil jalur kanan, masih menyusuri pagar belakang Istana.
Dari sini kondisi jalan terus menanjak.
|
Jalan menuju Desa Sukatani |
Sepanjang jalan di kiri-kanan
terlihat ladang-ladang aneka sayur seperti sawi, kailan, lobak, wortel, dll. Tidak
salah kalau Cipanas menjadi pemasok utama sayur dan buah-buahan untuk kota-kota
di sekitarnya terutama Jakarta. Hampir tidak terlihat ada lahan menganggur,
semua terisi oleh kebun sayur. Sangat produktif….!!!. Dan dijalan juga terlihat
hilir mudik mobil dan motor membawa hasil bumi.
Setelah menempuh jalan menanjak
sekitar 6km, mengandalkan Maps dan penduduk lokal kami ditunjukkan jalan masuk
melewati gang-gang sempit hingga sampai disalah satu warung yang menjadi tempat
parkir. Tidak ada tiket masuk di sini, dan tarif parkir juga seiklasnya.
|
Masuk gang-gang |
|
Masuk gang-gang |
Dari sini kami harus trekking. Melewati
jalan setapak di antara ladang sayur suasana desa sangat terasa sekali. Terlihat
petani-petani bekerja di ladang. Dan dikejauhan terlihat Gunung Gede Pangrango
berselimut awan dan kabut.
|
Kebun sayuran sepanjang jalan menuju curug |
|
Kebun sayuran sepanjang jalan menuju curug |
Sampai di petunjuk arah, kami
mulai menuruni bukit. Kondisi jalan setapak ini lumayan ekstrim karena berada
disisi bukit yang bawahnya merupakan lembah. Kondisi tanahnya rawan longsor,
sebagaimana kita ketahui karena perbukitan di sini sudah beralih fungsi menjadi
ladang. Tapi masih beruntung karena di bagian lembah masih berupa hutan, meski
masih terlihat petak-petak ladang sayuran.
|
Menuruni bukit menuju Curug Dengdeng |
|
Menuruni bukit menuju Curug Dengdeng |
|
Menuruni bukit menuju Curug Dengdeng |
|
Menuruni bukit menuju Curug Dengdeng |
Terdapat satu titik longsor
ketika kami ke sini, pohon berukuran sedang menghalangi jalan dan belum dibersihkan.
Melewati aliran sungai yang tidak begitu dalam tapi sangat dingin, jarak tempuh
hanya tinggal sekitar 50 meteran. Dan semua lelah akan terbayarkan ketika dari
balik sebuah pohon besar kami melihat curug yang dituju, Curug Dengdeng.
|
Cuurg Dengdeng di kejauhan |
Curug ini benar-benar diluar
perkiraan saya. Curug ini ternyata sangat tinggi. Meski tidak ada referensi
yang akurat, saya memperkirakan curug ini tingginya sekitar 80-100 meter.
Terdiri dari curug utama dan beberapa curug kecil. Meski debit airnya tidak
terlalu besar tapi tidak mengurangi kecantikan curug ini. Karena tinggi, area
di sekitar curug tidak lepas dari tampias dan selalu basah. Karena area didepan
curug terbatas, jadi hampir dimana saja kita berdiri akan kena selalu kena
tampias hahahhaa. Jadi buat yang membawa HP atau kamera DSRL harap berhati-hati
dan lindungi dari tampias.
|
Curug Dengdeng yang menakjubkan |
|
Curug Dengdeng yang menakjubkan |
|
Curug Dengdeng yang menakjubkan |
Kecantikan curug ini ditambah
lagi dengan taanaman-tanaman merambat atau pohon-pohon kecil yang menempel di
tebing yang menjulang dengan kemiringan 90 derajat.
Karena tidak berniat mandi di
curug ini, kami hanya mengambil foto-foto. Untuk mendekati curug kita bisa
mengambil tebing yang ada di sisi kiri. Di sini terdapat area yang rata sehingga
kita bisa mengambil foto curug dari samping. Dan tentu saja harus rela
berbasah-basah.
|
Curug Dengdeng dari sisi kiri |
|
Curug Dengdeng dari sisi kiri |
|
Curug Dengdeng dari sisi kiri |
Hanya saja, karena tidak
dikelola, terdapat sisa-sisa sampah dari pengunjung meski tidak terlalu banyak.
Semoga kedepannya tempat ini dijaga kebersihan dan tetap asri.
Telaga Warna
Pulang dari Curug Dengdeng kami mampir
di Telaga Warna yang berada di kawasan Puncak dan sudah masuk wilayah Bogor.
Tidak perlu diragukan lagi, kalau
kita melewati area Puncak sampai ke Cianjur pastilah melewati objek wisata ini
karena papan petunjuknya sangat jelas di pinggir jalan.
Memasuki gerbang, kami kemudian
membayar tiket masuk Rp. 25.000 per orang. Begitu memasuki gerbang, kami sudah
disambut oleh banyak monyet yang jinak dan seolah menunggu makanan. Setelah parkir
di lokasi parkir khusus motor yang juga berada di perkebunan teh. Tidak terlalu
jauh jalan, kita sudah sampai di Telaga Warna.
|
Jalan masuk ke Telaga Warna |
|
Berfoto di perkebunan teh |
Telaga Warna ini tidak terlalu
luas, berada di kaki bukit dikelilingi oleh hutan perawan, pemandangan kontras
dengan area puncak yang sudah terekploitasi dengan banyaknya perkebunan, villa
dan rumah. Terlihat juga beberapa penginapan/cottage dipinggir telaga. Hanya saja
saya tidak tahu apakah masih disewakan atau tidak karena saat itu jalan masuk
ke area cottage tertutup.
|
View Telaga Warna |
|
View Telaga Warna |
|
View Telaga Warna |
|
View Telaga Warna |
|
View Telaga Warna |
Seperti di Uluwatu, di sini
sangat banyak monyet-monyet yang jinak dan hidupnya sudah tergantung dari belas
kasihan pengunjung. Saking jinak atau ‘kurang ajar’ mereka tidak segan-segan
membuka tas dan memeriksa saku-saku pengunjung atau beberapa dari mereka loncat
ke tubuh pengunjung dan ‘menggeledah’nya. Malah ada minuman pengunjung yang di
rebut oleh monyet-monyet ini.
|
Monyetnya nakal-nakal |
|
Monyetnya nakal-nakal |
Di sini terdapat kantin yang
tutup selama bulan puasa, dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana makan di
sini dengan dikelilingi oleh monyet-monyet yang perilakunya sudah uncontrolled
ini?
Tidak terlalu lama kami disini,
mungkin sekitar 1 jam untuk melepas lelah dan kemudian melanjutkan perjalanan
pulang, menikmati suasana Puncak yang sepi dan jarang sekali ditemui.
Komentar
Posting Komentar
Leave you message here...!!!
Tinggalkan komentar Anda di sini...!!!!