Now Everybody Can Climb-Gunung Parang via ferrata
"Now Everybody Can Climb"
|
Meski di
jalan saya masih melempar opsi apakah mau ke Majalengka, Karawang
Selatan atau masih tetap ke Purwakarta, akhirnya kami memutuskan ke
rencana awal, ke Purwakarta, melakukan pendakian via ferrata, Gunung Parang,
via ferrata tertinggi di Asia.
Dan di jalan juga kami
menghubungi salah satu operator via ferrata Gunung Parang melalui Desa Cihuni,
Kang Baban namnya. Kami booking untuk pendakian besok pagi dan juga
penginapan. Ternyata masih ada penginapan yang masih kosong.
Sekitar jam 11 kami keluar tol
Jatiluhur. Karena masih siang, kami berencana ke Curug Suhada, yang kalau di
Google Map jaraknya sekitar 1 jam dari kota. Selain ke Curug Suhada kami
berniat mampir di rumah makan yang nanti kami lewati. Ternyata di sepanjang
jalan kami tidak menemukan satupun rumah makan yang buka, maklum Lebaran Haji.
Mengingat jalan masuk menuju curug dan perut sudah mulai memberontak, kami
memutuskan kembali ke kota.
Di kota, tepatnya pas pertigaan
keluar tol Jatiluhur kami makan di sebuah rumah makan yang besar dan rame
pengunjungnya. Jujur, sate maranggi dan lauk yang disediakan rasanya tidak ada
yang istimewa, tapi Alhamdulillah bisa buat mengganjal perut. Selanjutnya kami
meneruskan perjalanan menuju Gunung Parang.
Maksi dulu... |
Sebenarnya jalan menuju Gunung
Parang lumayan gampang. Dari kota kita arahkan kendaraan menuju Plered. Di
pertigaan pasar/stasiun Plered kita ambil kanan. Di sini kondisi jalan masih
lumayan bagus.
Karena Google Maps memberi arah
melewati jalan-jalan kecil dan kondisinya rusak, kami terus aja mengikuti jalan
besar. Sempat 2x menyanyakan ke penduduk lokal. Akhirnya kami menemukan jalan
desa menuju Gunung Parang. Sebelumnya masih ada angkot, di sini sudah terlihat
angkot. Kondisi jalannya kecil dan rusak dimana-mana. Tapi dibeberapa titik
sudah ada pekerjaan perbaikan-perbaikan dan pelebaran jalan.
View di sepanjang perjalanan
sangatlah bagus, dikiri kanan terlihat sawah yang sudah panen. Di kanan sudah
terlihat Gunung Parang berdiri gagah. Ada spot dimana kita berada dipuncak
bukit, memandang jauh kebawah terlihat jalanan berkelak-kelok juga terlihat
Waduk Jatiluhur yang terlihat samar-samar karena pantulan cahaya matahari.
Salah satu view ke Gn Parang |
Gunung Parang |
Menyisir kaki Gunung Parang, di
sepanjang jalan terlihat iklan operator pendakian. Tapi tujuan kami adalah Desa
Cihuni. Tidak beberapa lama kami menemukan Desa Cihuni. Di sini parkiran sangat
sedikit hanya cukup beberapa mobil. Kami parkir di depan sebuah warung, yang
mana sudah ada 3 mobil yang parkir.
Memasuki gerbang wisata,
seharusnya kami bayar tiket, tapi karena menginap, kami tidak dipungut bayaran.
Terlihat beberapa saung/homestay di area bawah, dan beberapa di atas.
Kami bertemu dengan Kang Baban,
yang baru saja turun habis mengantar pengunjung. Kang Baban menawarkan homestay
di bawah, dengan harga Rp. 50.000 per orang dengan kamar mandi di luar. Untuk
privat, dengan harga Rp. 300.000 kamar mandi di dalam, dan berada di lereng bukit.
Kami memilih yang privat.
Penginapan di lereng bukit |
Kondisi penginapan |
Homestay yang berada di lereg
bukit ini, ternyata kamarnya sangat luas, bisa menampung 20 orang atau lebih.
Dari sini kita bisa melihat desa dan Waduk Jatiluhur di kejauhan.
Disini tidak perlu takut
kekurangan makanan, ada kantin (punya kang Baban) yang menyediakan makan besar
dan kecil serta minuman.
Kantin sekaligus sekretariat |
Tidak banyak yang dilakukan malam
itu karena harus tidur cepat untuk persiapan pendakian besok pagi.
Desa Cihuni di temaram senja |
Gak tau ya lagi ngapain |
Bangun pagi, mengisi waktu sampe
jam 8, kami hanya foto-foto dan menikmati pemandangan. Setelah mandi dan
sarapan, kami kumpul di kantin sekaligus sekretariat. Setelah membayar uang
pendaftaran, Rp. 150.000 per orang untuk pendakian 300m dan uang sewa Rp.
300.000, selanjutnya kami briefing. Jumlah peserta sekitar 15 orang (12 hanya
sampai 300m dan 3 orang sampai ke puncak).
Pertama-tama kita semua dipakaikan body harness lengkap dengan 2 sling
(pengait) dan helm. Peserta sebaiknya memakai sepatu gunung dan sarung tangan
(kebetulan saya gak pakai karena ketinggaan di mobil).
Persiapan pemasangan alat safety |
Foto session |
Setelah perlengkapan keselamatan
terpasang dan foto session, kami melanjutkan trekking sekitar 15 menit. Ini
masih pemanasan, belum pendakian yang sebenarnya hehehe. Sampai di suatu area
yang rata kami di briefing oleh Kang Baban (di temani oleh satu guide lagi). Jadi
intinya, sesuai namanya via ferrata, kita akan melakukan pendakian menggunakan
tangga-tangga besi yang dipersiapkan disepanjang jalur pendakian. Ada 2 sling
pada tiap pendaki, satu sling dikaitkan di tali/besi baja yang melintang
disepanjang jalur dan satu lagi di tangga besi. Jadi kita mengaitkannya
bergantian, yang di tali baja sekitar tiap 1m, dan di tangga besi setiap 3-4
anak tangga, atau maksimal yang bisa dijangkau. Jadi kita harus mengaitkan
sling ini meskipun dalam keadaan istirahat. Di tempat briefing, salah satu
peserta wanita kelihatan pucat dan keringat dingin, jadi dia dan pasangannya
tidak melanjutkan pendakian.
Trekking menuju tempat pendakian
|
View di area briefing |
Setelah briefing, dimulailah
pendakian via ferrata. Untuk keselamatan, kamera DSRL saya dititip ke guide,
jadi beliau yang mengambil foto kami selama pendakian. Di awal pendakian,
kemiringan gunung batu ini sekitar 70-80 derajat. Melihat ke belakang, terlihat
hamparan bukit hijau dan waduk Jatiluhur dikejauhan. Karena musim panas, cahaya
matahari terlalu over sehingga waduk kelihatan berkabut dan keperakan.
Yang penting berfoto…. :p |
Yang penting berfoto…. :p |
Yang penting berfoto…. :p |
Yang penting berfoto…. :p |
Sementara Kang Baban berada di
bawah untuk mengawal pendaki dan satu guide lagi berada di posisi-posisi ‘bagus’
untuk mengambil spot-spot foto. Selanjutnya kemiringinan sekitar 90 derajat dan
memutar sedit sisi bukit. Di sini dikejauhan terlihat hotel yang dibangun
menggantung disisi bukit. Inilah hotel yang rencananya akan dibangun 10 buah
yang akan merupakan satu-satunya hotel di Indonesia yang berada di tebing
bukit. Pendakian dengan kemiringan 90 derajat menurut saya lebih ringan
dibanding kemiringannya kurang dari 90, karena kalau makin kurang, beban badan
kita makin berat, apalagi faktor ‘U’, bisa sakit nih pinggang hahahaha.
Di salah satu spot, peserta
bergantian berfoto sambil lepas tangan, dan hanya bergantung pada sling yang
dkaitkan ke anak tangga. Karena (alasan) talinya saya sedikit panjang, jadinya
gak pas posisinya hahahaha.
Gaya apa ini? hahahaha |
Sampai di suatu titik lagi dimana
ada satu pohon yang lumayan besar, kami istirahat sejenak. Selanjutnya kami
memasuki trek yang melingkar, menyusuri sisi bukit. Di sisi ini makan waktu
yang cukup lama, karena banyak foto session nya hahahha.
Salah satunya
mengibarkan bendera Sang Merah Putih, kebetulan salah satu peserta membawa
bendera.
Di ujung trek, ada jalur
terpisah, ada yang ke atas untuk melanjutkan pendakian dan ada yang kebawah,
trek balik ke base. Untuk yang ke atas, sudah menunggu seorang guide untuk
mengawal ke atas. 10 orang peserta kembali ke bawh dan 3 peserta melanjutkan ke
puncak. Ternyata trek turun lebih memakan tenaga karena menahan beban tubuh
kita. Saya dan Revan duluan turun, Kang Baban ikut menyusul, untuk mempercepat
turun, saya dibantu Kang Baban..... (ada deh caranya hahahhaha).
Yang mau ke puncak |
Trek turun |
Sampai di bawah hampir jam 12 an,
jadi total pendakian kami sekitar 3 jam. Sampai di kantin, satu-satunya benda
paling berharga di dunia saat itu adalah kelapa muda..... Aduuuh nikmatnya.....
Setelah istirahat sebentar dan
bersih-bersih, sehabis zuhur kami meninggalkan Gunung Parang dan Desa Cihuni,
terima kasih atas petualangannya hari ini......
Link terkait:
Komentar
Posting Komentar
Leave you message here...!!!
Tinggalkan komentar Anda di sini...!!!!